Back to top
6 December 2017

Report: Attacks on LGBT Rights Defenders Escalating in Indonesia

(Bahasa Indonesia di bawah - Bahasa below)

Human rights defenders (HRDs) working on issues related to sexual orientation, gender identity and expression (SOGIE) have long operated in a threatening environment in Indonesia. Today they are facing more risks than they have in decades, according to 25 HRDs interviewed by Front Line Defenders in July 2017.

The report, “Attacks on LGBT Rights Defenders Escalating in Indonesia”, includes testimonies from dozens of human rights defenders who report that following a crackdown on LGBT rights in 2016 and amidst ongoing violent raids of LGBT gatherings, threats against community leaders are increasingly frequent, personal, and violent.

“Our investigation illustrates that the government’s own crackdown on LGBT rights in 2016 emboldened those who want to terrorize human rights defenders into silence,” said Front Line Defenders Executive Director Andrew Anderson in Dublin. “Ongoing police raids and a failure to respond to attacks against HRDs send the message that violence against peaceful activists is acceptable in Indonesia.”

Front Line Defenders conducted an investigative mission in July 2017 and met at-risk human rights defenders in four provinces: Aceh, Makassar, Yogyakarta and Jakarta.1 Front Line Defenders interviewed more than a dozen LGBT activists in Aceh, the only province in Indonesia governed by Islamic Sharia law; all reported violent raids and weekly sweeps conducted on Fridays by government-sanctioned religious police.

Key Report Findings

  • 23 out of 25 HRDs interviewed received multiple death threats since the start of 2016. These included threats received online (sometimes by the hundreds on blog posts, Facebook, etc) but also included extremist groups attacking LGBT events and verbally threatening to hang them.
  • Social media accounts known to be affiliated with Islamic extremist groups increasingly post photos or videos of activists with public calls to attack them.
  • HRDs noted a marked increase in the use of religious terminology during threatening phone calls or online attacks, such as “your blood is halal,” meaning that to kill them is religiously sanctioned in Islam.
  • At least 3 rights groups were forced to move their offices in the previous two years following a raid or physical intimidation. The raids and threats were perpetrated by extremist groups, local religious police, and state police. In several cases, state police ignored activists’ requests for protection when an extremist group announced in advance its intention to attack an event.
  • Defamation in the media and violent rhetoric from high-level government officials (such as the Minister of Defence, Minister of Higher Education and Chief of Police of West Java) is a key cause of decreased activism, who report complaints from family and friends about endangering them.
  • For transgender sex workers who also work to develop protection strategies for their community, food and housing insecurity is reported as the foremost risk. Pervasive homelessness, poverty and food insecurity mean that the need to make money at night limits the number of hours they can devote to protection work during the same hours.
  • Sex worker rights defenders in Yogyakarta cited increased targeting by police “at night” (while working as sex workers) due to their visibility as activists “during the day.”

Key Recommendations

Despite the negative trends for SOGIE rights defenders, the consultations carried out by Front Line Defenders clearly indicated an almost universal desire amongst HRDs to continue their work. They also identified targeted recommendations from HRDs about what they need in order to continue their work safely. Capacity-building, increased security measures, advocacy at national and local levels, media engagement and public awareness were all activities that HRDs suggested would improve their work and security.

HRDs have also identified clear demands for reform at the national level, including:

  • ending politicians’ deployment of LGBT hatred to garner populist support and draw attention away from government scandals;
  • ceasing the defamatory language used by national government officials to describe SOGIE rights defenders;
  • increasing police and other national institutions responsiveness to attacks against the LGBT community;
  • implement the recently adopted Universal Periodic Review recommendations related to protection of LGBT defenders and non-discrimination;

At-risk defenders also identified several actionable forms of support that the international community – specifically the representatives of the US and EU member states embassies in Jakarta – could provide to enhance their security. These include:

  • providing secure event and meeting space to LGBT rights defenders and organisations working outside of Jakarta;
  • informing HRDs about available support and emergency assistance available to them from the EU, (ProtectDefenders.eu grants, discretionary funding, transportation, etc);
  • pressing for the protection of SOGIE rights defenders in both public and private meetings with Indonesian officials, holding them accountable for the full implementation of the recently adopted UPR recommendations related to protection of SOGIE defenders and nondiscriminatory laws;
  • inviting HRDs to consultations and meeting with SOGIE rights defenders when traveling throughout the country to learn about their security needs;
  • publicly monitoring queerphobic verbal and physical abuse in the run up to the 2019 election, and to alert the Indonesian government to its intention to do so.

For the complete list of recommendations for the Indonesian government, EU and its member states, and the US, see
Recommendations section, on page 24 of the report.

Click to View & Download the Report: "Attacks on LGBT Rights Defenders Escalating in Indonesia"

1One group Front Line Defenders met, Arus Pelangi, is based in Jakarta and represents a network of more than 30 Indonesian LGBT and SOGIE rights organisations across the country.


Serangan Terhadap Pembela hak LGBT Meningkat di Indonesia

Para pembela HAM yang bekerja perihal masalah yang berkenaan dengan orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi (SOGIE) sejak lama beroperasi dalam keadaan yang tidak tenteram. Akan tetapi belakangan ini, mereka menghadapi suasana yang makin berbahaya, yang tidak dialaminya sejak beberapa windu, demikain menurut 25 pembela HAM yang diwawancarai oleh Front Line Defenders pada bulan Juli 2017.

Front Line Defenders mengadakan misi pada bulan Juli 2017 untuk menyidik tentang ancaman-ancaman yang dilakukan terhadap pembela hak LGBT, apa saja risiko yang mereka hadapi, serta jawaban dari pihak pemerintah. Front Line Defenders bertemu dengan lebih dari duapuluh pembela HAM yang bekerja dalam bidang pembangunan dan perlindungan hak-hak SOGIE dan di dalam masyarakat-masyarakat yang beridentitas LGBT di empat propinsi, yakni:  Aceh, Makasar, Yogyakarta dan Jakarta.

Biarpun terdapat suasana yang memburuk bagi para pembela hak SOGIE, pembicaraan yang diadakan oleh Front Line Defenders dengan mereka menandakan keinginan besar mereka untuk meneruskan pekerjaan mereka. Para  pembela HAM ini juga telah memberikan berbagai rekomendasi yang konkrit sebagai sarana dan keperluan agar dapat melakukan pekerjaan mereka secara aman. Perkembangan kapasitas, berbagai sarana untuk menambah keamanan, advokasi dari pihak nasional maupun lokal, implikasi media serta penyadaran masyarakat umum, inilah adalah hal-hal yang dikemukakan oleh para pembela HAM yang dapat memperbaiki kondisi pekerjaan dan keamanan mereka.

Pokok-Pokok Utama Hasil Penyidikan

  • 23 dari 25 orang pembela HAM, yang ditemukan oleh regu Front Line Defenders di berbagai tempat di ke-empat propinsi, menyatakan telah menerima ancaman pembunuhan sejak awal tahun 2016. Ancaman ini berupa ancaman melalui internet (terkadang beratusan pada posting blog, Facebook, dsb.), dan juga serangan kelompok ektremis pada waktu menyelenggarakan event LGBT dengan ancaman akan menggantung mereka.
     
  • Pelecehan di media dan ucapan-ucapan yang mengandung kekerasan dari pegawai-pegawai tinggi pemerintahan (seperti antara lain dari Menteri Pertahanan dan Kepala Polisi Jawa-Barat) merupakan alasan-alasan utama yang menghasilkan para pembela HAM terpaksa mengurangi gerak aktivis  mereka, yang menyatakan merasa terbungkam antara dua pilihan: meneruskan pekerjaan mereka atau mentaati permintaan dari pihak keluarga dan teman-teman mereka yang merasa turut diperbahayakan.
     
  • Para pembela HAM menyatakan bahwa berbagai akun media sosial yang dikenal berafi liasi pada kelompok-kelompok muslim, makin sering menyantumkan foto atau video dari para aktivis dengan seruan umum untuk menyerang mereka. Berbagai pembela HAM maka terpaksa menghapus,
    mematikan atau mengubah nama profi l sosial media mereka, hal-hal yang jelas menghambat pekerjaan mereka sebagai aktivis LGBT, yang kebanyakan
    menyebarkan informasi melalui forum-forum secara online, demi keamanan juga.
     
  • Para pembela HAM transgender di Aceh dan Yogyakarta melaporkan menerima ancaman sangat keras sehubungan dengan masa transisi mereka,
    termasuk dimaki secara umum oleh polisi syariah karena tidak mengenakan baju sesuai tradisi Islam yang ketat (dinyatakan oleh seorang wanita yang
    sedang berubah menjadi lelaki, sebagai contoh), atau juga sewaktu mereka bertemu di tempat umum yang bercampur jenis.
     
  • Kebanyakan dari pembela HAM yang ditanya mengatakan impak dan kesulitan yang paling besar (yang juga merupakan faktor utama menjadi
    'burn-out') adalah hilangnya kepercayaan dari masyarakat mereka - yang oleh banyak di antara mereka disebut 'pemberantasan kedua'. Setiap
    pembela HAM yang diwawancarai oleh Front Line Defenders menyatakan bahwa paling sedikit satu di antara rekan-rekan mereka sudah berhenti atau
    sangat mengurangi kegiatannya, karena berbagai pemberantasan, dan ancaman kepadanya dan keluarganya, serta tidak diusutnya serangan-serangan
    ini dari pihak pemerintah.

Rekomendasi-Rekomendasi Utama

Para pembela HAM juga memberikan berbagai saran perbaikan di tingkat nasional, termasuk:

  • Mengakhiri penggunaan dari orang-orang berpolitik yang menyebarluaskan kebencian terhadap mayarakat LGBT agar mendapat dukungan dan suara dari rakyat, sekaligus menjauhi perhatian dari perbuatan-perbuatan KKN mereka;
  • Menghentikan ucapan-ucapan perlecehan yang digunakan oleh pejabat-pejabat resmi pemerintah nasional terhadap para pembela hak SOGIE;
  • Menambah perlindungan dari pihak polisi dan instansi-instansi pemerintah lain terhadap ancaman yang dilakukan terhadap kaum LGBT;
  • Mensyahkan dan memperlakukan rekomendasi-rekomendasi Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review - UPR) yang baru dikeluarkan sehubungan dengan perlindungan pembela-pembela LBGT dan anti-diskriminasi;

Para pembela yang berisiko juga mengajukan beberapa macam dukungan yang dapat diberi oleh masyarakat internasional - khususnya dari perwakilan kedutaan Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang berada di Jakarta - yang kemungkinan besar akan dapat menambah kondisi keamanan  mereka. Antar lain adalah:

  • Memberikan tempat-tempat yang aman untuk mengadakan pertemuan dan event kepada para pembela dan organisasi-organisasi hak SOGIE yang berada di luar Jakarta;
  • Memberitahukan para pembela HAM adanya dukungan dan bantuan darurat dari Uni Eropa, (beasiswa ProtectDefenders.eu, pembiayaan, transportasi, dll.);
  • Menekankan pada pemerintah Indonesia dan pejabat-pejabatnya perlunya dilindung para pembela hak SOGIE di bidang umum maupun di lingkungan pribadi mereka, serta kewajibannya mengimplentasikan secara penuh rekomendasi-rekomendasi UPR (Tinjauan Periodik Universal) yang baru dikeluarkan sehubungan dengan perlindungan pembela SOGIE dan hukum-hukum anti-diskriminasi;
  • Mengundang para pembela HAM untuk perundingan dan menemui para pembela hak SOGIE jika berkunjung ke daerah, agar mengetahui keperluan keamanannya;
  • Memonitor secara jelas ucapan-ucapan kebencian terhadap kaum LGBT maupun serangan-serangan fi sik yang (akan) diadakan dalam menghadapi Pemilihan Umum di tahun 2019, dan memberitahukan pemerintah Indonesia akan melakukan hal ini.

Untuk daftar lengkap Rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia, Uni Eropa dan negara-negara anggotanya dan Amerika Serikat, lihatlah Seksi Rekomendasi, di hal 24.

Klik Untuk Download Laporan "Serangan Terhadap Pembela hak LGBT Meningkat di Indonesia"